Desa Abangsongan pada mulanya merupakan salah satu banjar dari 2 (dua) banjar yang ada di Desa Abang, yaitu Banjar Songan (Abangsongan) dan Banjar Batudinding (Abang Batudinding).
Desa Abang sebelumnya bernama Desa Air Awang (Keraman i wingkang ranu Air Awang), yang sudah ada pada masa pemerintahan raja suami istri Gunaprya Dharmapatni – Udayana Warmadewa (910 Ç–933 Ç) atau (988 M-1011 M). Ketika itu Desa Air Awang berpenduduk sebanyak 20 KK yang berasal dari Desa Trunyan (dibawah pemerintahan desa Trunyan). Kemudian orang-orang Desa Air Awang mohon merdeka dan melepaskan diri dari Desa Trunyan dan permohonan itu dikabulkan oleh Dalem (Raja). Sejak itu Desa Air Awang menjadi desa yang berdiri sendiri (swatantra).
Desa ini sering ditimpa bencana alam (tanah longsor, banjir, air danau pasang, gempa bumi), karena itu untuk menyelamatkan diri lalu penduduknya pindah ke Batur di seberang Danau Batur. Sejak saat itu di Desa Batur ada Banjar Abang dan Pura Abang (Kanginan). Prasasti Air Awang juga dibawa pindah ke Batur dan disimpan di pura Abang. Lama kelamaan nama (istilah) Desa Air Awang berubah menjadi Air Abang, Wingkang Ranu berubah menjadi Bintang Danu.
Dalam Babad Pasek Kayu Selem disebut Desa Abang terletak di pinggir (tepi) danau. Sejak Desa Air Abang berubah menjadi Desa Abang sudah tidak berpenghuni (tidak ada penduduknya) kemudian menjadi hutan belantara wilayah kerajaan NyaliaN. Raja Nyalian keturunan Ksatrya Tamanbali (Tirtha Harum). Ketika itu yang bertahta menjadi raja (Dalem) di Nyalian adalah I Dewa Gede Tangkeban, beliau sangat gemar berburu di hutan antara lain di hutan bekas Desa Abang.
Karena jarak antara Nyalian dengan hutan tempatnya berburu cukup jauh dan melalui jalan setapak di dalam hutan, sehingga raja sering harus bermalam di dalam hutan karena jauh dari pemukiman penduduk. Untuk menyiapkan tempat peristirahatan dan penginapannya selama berburu di dalam hutan tersebut, lalu raja (Dalem) Nyalian memindahkan 4 (empat) KK Warga Tangkas Koriagung dari Desa Tegalwangi ke Desa Abang, dan disana mereka membangun rumah untuk tempat tinggalnya serta tempat peristirahatan dan penginapan raja (Dalem) Nyalian tatkala beliau berburu. Konon di tempat bekas penginapan raja (Dalem) tersebut dibangun rumah (jero) untuk Perbekel Desa Abang. Demikian pula batu besar tempat raja (Dalem) menaruh pakaian (busana) pada saat beliau mandi, kelak dinamakan ibu terletak di areal merajan Perbekel Desa Abang.
Pada suatu saat Desa Batudinding yang terletak di bagian utara wilayah kekuasaan raja Nyalian diserang oleh pasukan Teruna Goak kerajaan Buleleng. Penduduk Desa Batudinding yang tidak mau takluk akhirnya melarikan diri mengungsi ke Puri Nyalian melaui Trunyan, Abang dan seterusnya sampai di Nyalian sebanyak 20 (dua puluh) KK. Oleh raja (Dalem) Nyalian, penduduk pengungsi tersebut kemudian ditempatkan di Desa Abang dan mulai saat itu Desa Abang berpenduduk 24 (dua puluh empat) KK, yaitu 4 KK dari Tegalwangi dan 20 KK dari Batudinding, namun belum ada Perbekel (Kepala Desa) sebagai pimpinannya. Oleh karena itu, raja (Dalem) Nyalian minta kepada raja Tamanbali yang masih ada hubungan keluarga dengan raja Nyalian, agar diperkenankan mengangkat salah seorang keturunan Perbekel Desa Songan (Pasek Gelgel Songan) menjadi Perbekel Desa Abang, karena Desa Songan berada dibawah kekuasaan kerajaan Tamanbali. Meskipun sudah disetujui oleh raja Tamanbali, namun pada mulanya keturunan Pasek Gelgel Songan menolak diangkat menjadi Perbekel di Desa Abang.
Setelah berulang kali didesak (diminta) dan setelah diperkenankan mengajak rakyat sendiri dari Desa Songan, barulah keturunan Pasek Gelgel Songan bersedia diangkat menjadi Perbekel Desa Abang. Yang diangkat menjadi Perbekel Desa Abang adalah putra ketiga dari Perbekel Desa Songan yaitu Nyoman Pasek Gelgel dengan diiringi oleh 15 (lima belas) KK warga pilihan dari Desa Songan yang berasal dari warga Pande Besi. Warga pengiring Perbekel Desa Abang ini dikenal dengan istilah rakyat (réncang) tetadtadan.
Pada tahun çaka 1522 bertepatan dengan sasih Kapat, berangkatlah Nyoman Pasek Gelgel dengan diiringi 15 KK rakyat pilihannya dengan mengarungi pedahu menuju ke Desa Abang. Setelah sampai di tengah arungan (pertengahan danau) terjadi peristiwa yang sangat mengerikan yaitu ombak besar yang hampir menenggelamkan mereka, ketika itu mereka berkaul, apabila mereka selamat sampai di Abang, mereka akan menyelenggarakan suatu yadnya sebagai pernyataan rasa syukur dan terimakasih kepada leluhur dan Hyang Widhi atas perlindunganNya, sehingga mereka selamat sampai di Desa Abang. Sejak itu Desa Abang berpenduduk sebanyak 40 (empat puluh) KK yaitu : 20 KK orang-orang Batudinding, 4 KK orang-orang Tegalwangi, dan 16 KK orang-orang dari Songan. Akhirnya penduduk Desa Abang dibagi menjadi 2 (dua) Banjar, yaitu Banjar Songan (Abangsongan) yang terdiri dari penduduk yang dari Songan dan Tegalwangi dan Banjar Batudinding (Abang Batudinding). Demikian juga tanah pertanian di wilayah Desa Abang juga dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yang disebut dengan istilah mesibak komak, yaitu sebagian untuk Banjar Songan (Abangsongan) dan sebagian lagi untuk Banjar Batudinding (Abang Batudinding). Khusus untuk Banjar Songan, oleh karena Warga Tangkas Koriagung yang berjumlah 4 KK telah lebih dahulu tinggal di Abang mendapat pembagian tanah yang lebih luas dari warga yang berasal dari Songan.
Perbekel Desa Abang I (Nyoman Pasek Gelgel) kemudian digantikan oleh putranya yang sulung menjadi Perbekel Desa Abang II (Wayan Gede Pasek Gelgel). Wayan Gede Pasek Gelgel mempunyai seorang putra yang bernama Wayan Gede Abian. Pada waktu Wayan Gede Pasek Gelgel menjadi Perbekel Abang II, kerajaan Nyalian diserang oleh kerajaan Kelungkung dan Nyalian kalah. Raja Nyalian (I Dewa Gede Tangkeban) gugur dalam peperangan, Putra raja Nyalian yang masih kecil dapat diselamatkan dan dilarikan ke Bangli, oleh raja Bangli (I Dewa Ayu Den Bencingah) dan diangkat menjadi putra mahkota. Daerah-daerah bekas kekuasaan raja Nyalian dibagi, sedangkan Desa Abang dibawah kekuasaan kerajaan Bangli. Wayan Gede Pasek Gelgel tetap menjadi Perbekel Desa Abang II.
Karena keberhasilannya memimpin Desa Abang menimbulkan iri hati sementara orang yang ingin menggantikannya menjadi Perbekel. Perbekel Desa Abang II difitnah yang bukan-bukan dan fitnah ini dipercaya begitu saja oleh raja Bangli tanpa menyelidiki lebih jauh tentang kebenarannya. Perbekel Abang II akhirnya di bunuh di Desa Belahpane (sebelah utara Desa Tulikup), karena itu disebut ndewata (mantuk) di Belahpane. Jabatan Perbekel Desa Abang menjadi kosong tidak ada yang mau mendudukinya meskipun sudah diusahakan oleh raja Bangli. Karena itu raja Bangli memanggil jandanya Wayan Gede Pasek Gelgel (Perbekel Abang II) dan diminta agar menyerahkan anaknya (Wayan Gede Abian) untuk menjadi Perbekel Abang III, namun ibunya tidak memberikannya dengan alasan takut nanti anak satu-satunya kenah fitnah akan dibunuh oleh raja. Karena itu raja Bangli berjanji akan mengampuni segala kesalahan Wayan Gede Abian termasuk keturunannya sampai kelak dikemudian hari. Sejak itu Wayan Gede Abian diberikan kedudukan istimewa dengan keturunannya disebut Kawula Kawisudha. Dalam melaksanakan pitra yadnya boleh memakai segala pakaian dan perlengkapan seperti yang diamanatkan oleh leluhurnya diberikan bale Tiang Sanga. Mulai saat itu Wayan Gede Abian diangkat menjadi Perbekel Desa Abang III. Perbekel Desa Abang III digantikan oleh putra laki-lakinya yang bernama I Gede Pasek menjadi Perbekel Desa Abang IV. Selanjutnya I Gede Pasek digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Wayan Widya Rai menjadi Perbekel Desa Abang V. Perbekel Desa Abang V digantikan oleh putranya (I Made Sabda) menjadi Perbekel Desa Abang VI.
Pada saat kepemimpinan Perbekel Desa Abang VI banyak terjadi kendala-kendala antara lain Kelian Banjar Batudinding (I Nurincem) melepaskan diri (mekeles) dari kepemimpinan Perbekel Desa Abang VI, dia mau berdiri sendiri. Disetujui oleh raja Bangli waktu itu (I Dewa Gede Tangkeban), tanah bukti Perbekel ± 16 ha dicabut oleh raja dan diberikan I Nurincem ± tahun 1911. Kemudian pada saat Perbekel Abang VI mengambil istri II, seluruh orang-orang Banjar Batudinding mekeles dari Perbekel Abang VI tersebut. Warga Tangkas (Wacik Gintar) juga mekeles, kemudian Penyarikan Medika, ada kelompok (soroh) 12 dan seterusnya. Banjar Batudinding berdiri sendiri menjadi Desa Abang Batudinding. Pada tahun 50-an Desa Abang Batudinding pecah menjadi 2 (dua) yaitu Abang Batudinding dan Suter.
Oleh : Jro Pasek I Made Dibia, BA